Jumat, 07 Desember 2012

Sinopsis Cerita Rakyat Sumbawa “Buen Lajendre”

Pada zaman dahulu di Desa Lantung aimual, Kecamatan Ropang hiduplah seorang gadis cantik yang bernama Lala Ila. Ia adalah puteri dari Dea ilung. Kecantikannya, tidak hanya dibicarakan orang di sekitar Desa Lantung tetapi juga hingga Sumbawa Besar. Kecantikan Lala Ila. termasyhur ke segenap penjuru. Wajah dan pribadinya mengagumkan. Tiada cacat sedikitpun. Sewaktu kecil ia telah dipertunangkan dengan Lalu Mangi putera Raden Mangi, yang tinggal di kampung Kalempet . Sumbawa. Antara  mereka terdapat hubungan darah walaupun agak jauh. Oleh karena itu mereka ingin mempererat hubungan itu. Maka dipertunangkanlah Lala Ila dan Lalu Mangi. Melalui hal inilah hubungan keluarga , yang telah jauh menjadi dekat kembali. Ketika usia mereka meningkat. remaja kedua anak itu tidak mengetahui pertunangan mereka. Orang tua mereka tidak pernah menceriterakannya.
Apabila Lalu Mangi bepergian ia selalu ditemani oleh Salampe, anak angkat Raden Mangi. Salampe adalah orang kepercayaan keluarga Raden Mangi. Setiap bangun tidur, Salampe terus ke sungai memandikan kuda dan membersihkan kandang kuda. Setelah itu menyabit rumput, kemudian memperbaiki kebun dan mengambil kayu api. Akhirnya melayani dan menemani Lalu Mangi bepergian itulah pekerjaan Salampe setiap hari.
Pada suatu malam Salampe dan Lalu Mangi berjanji untuk pergi berburu. Keesokan harinya dengan tergesa-gesa Salampe menaiki tangga rumah panggung itu dan langsung memasuki kamar Lalu Mangi. Lalu Mangi masih tidur.
“Lalu, Lalu bangunlah, matahari telah terbit.”
Salampe membangunkan anak muda itu sambi! menggoyang-goyangkan badannya.
“Mengapa kau bangunkan aku, aku masih mengantuk.”
“Ah lain kali saja. Aku masih mengantuk dari hari ini badakku tidak’ sehat;” jawab Lalu’ ‘Mangi sambil menggeliatkan badan. Tadi malam ia pergi mendengarkan’ Sekeco. ke “desa Samapuin sambil menyaksikan upacara  perkawinan ditempat itu.  Itulah sebabnya pada hari itu Lalu Mangi terlambat bangun.
“Ada yang ingin kutanyakan Salampe’
“Tentang apa Lalu.”
“Mungkin kau pernah mendengar nama Lala Ila gadis di desa Lantung Aimilal itu
“Ya’, saya dengar Lalu. Semua orang mengatakan wajah gadis itu seperti wajah bidadari.”
“Duh cantiknya. Ingin sekali aku  memandang wajah  itu. Bagaimana kalau kita pergi ke desa Lantung, Salampe.”
“Bagi saya tak ada suatu halangan. Apa kata Lalu, saya mengikutinya.”
“Bagaimana kalau kita berangkat esok subuh?”
“Baiklah Lalu. Sebaiknya kita berangkat sebelum fajar menyingsing.”
“Mudah-mudahan  kita tidak ditimpa musibah di negeri orang. “Niat baik dilindungi oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Sebelum tidur Salampe memberitahu kepada Raden Mangi dan istrinya ten tang rencana perjalanan itu. Raden Mangi menerima dengan baik rencana itu. Kebetulan di desa Lantung ada juga sepupu, Raden Mangi, yang bernama Dea Angge. Dea Angge telah bermukim di temp at itu selama dua puluh tahun.
Malam itu Lalu Mangi bermimpi bertemu dengan bidadari, bidadari itu memberikan’ sekuntum, bunga. Lalu Mangi menerima bunga itu seraya menciumnya. Betapa harum bunga itu. Tetapi tiba-tiba  bunga terlepas dari tangan dan terjatuh ke dalam laut. Di saat akan mengambil kembali, bunga itu tiba-tiba menjelma menjadi sebuah perahu. Perahu itu dibawa ombak ke tengah laut. Tetapi mimpi itu tidak diceriterakan kepada siapa pun. la takut mendengar berbagai penapsiran tentang mimpi itu.
Akhimya dengan singkat diceriterakan waktu subuh pun menjelang. Salampe sudah mempersiapkan kuda tunggangan untuk Lalu Mangi dan untuk dirinya. Lalu Mangi memakai pelana merah menyaladan sanggahan kaki baru. Sebelum berangkat Raden Mangi meninggalkan pesan. untuk kedua anak itu.
“Baik-baik di negeri orang anakku. Dan Salampe, jaga Lalumu baik-baik.”
“Dea, akan hamba jaga sebagaimana biasa.” Ibu Lalu Mangi pun ikut memberikan nasehat.
“Hati-hati di jalan anakku. Bawalah .azimat ini agar kalian tidak digigit ular berbisa atau disengat kalajengking.” Sudah itu Lalu Mangi bersujud di kaki ibu bapaknya. Demikian pula Salampe.
“Bela Lalumu jika ada yang mengganggunya.” “Dea, tak usah dikhawatirkan.”
“Kami pamit ayah bunda.” Lalu Mangi mohon doa restu terhadap orang tuariya. Sesudah itu kedua anak itu turun dari rumah panggung diantar oleh Raden Mangi dan istrinya. Perbekalan untuk perjalanan dimasukkan ke dalam karung dan menjadi bebar, kuda Sabane. Kuda Lalu Mangi meringkik terus. Rupanya ia ingin segera berangkat.
Akhirnya berangkatlah mereka itu, diiringi oleh cucuran air mata ibunya. Baru kali ini mereka berpisahjauh.
Dalam perjalanan itu Salampe berceritera dan Lalu Mangi asyik mendengarnya. Kebanyakan Yang diceriterakan ceritera yang lucu-Iucu. Sudah barang tentu hati yang sunyi jadi girang. Kini mereka telah tiba di at as sebuah bukit. Kuda mereka dihentikan sejenak. Kota Sumbawa besar telah hilang dari pandangan mata. Agak jauh perjalanan mereka. Embun, pagi jernih bening di pucuk rerumputan sepanjangjalan setapak. Selesai Sarapan mereka melanjutkan perjalanannya. Dipacunya kuda itu kembali.
Setelah sehari suntuk dalam perjalanan tibalah mereka di desa Lantung Aimual. Di antara waktu Isya dan Magrib kedua pemuda itu sudah berada di am bang pintu pagar desa. Salampe berseru kepada peronda yang sedang asyik ngobrol di gardu ronda ..
“Hai paman, tolong bukakan pintu pagar ini.” Peronda itu ‘pun terburu-buru membuka pintu. Salampe turun dari atas kuda. Dihelanya kuda itu. Kuda Lalu Mangi mengikuti dari belakang.
“Tolong tunjukkan di mana Dea Angge,” kata Salampe penuh
harap.
“Kalian siapa?” tanya orang ronda. “Kami dari Sumbawabesar.”
“Dea Angge itu pamanku, kata Lalu Mangi. “Baiklah, mari ikut kami.
Diantarlah mereka itu oleh petugas ronda sampai ke rumah Dea Angge. Betapa girang hati Dea Angge menerima kedatangan kemenakannya itu. Jika malam tiba rumah pamannya am at ramai dikunjungi para tetangga. Begitu juga penduduk kampung tiada henti-hentinya mengajak Lalu Mangi dan Salampe bertandang ke rumah mereka. Hal itu merupakan luapan rasa senang terutama terhadap tamu yang datang dari jauh.
“Agaknya inilah yang bernama Lala Ila bunga mekar desa Lantung ini.”
Sejak itu setiap pagi Lalu Mangi berjalan-jalan di samping rumah Lala Ila. Pamannya, telah memberitahu bahwa gadis cantik di desa itu cuma satu, yaitu Lala lla.
“Paman, saya ingin berjumpa dan berbicara dengan Lala Ila.” “Mudah, manusia punya akal,” jawab Dea Angge tegas. “Katakanlah paman, bagaimana jalan yang harus ditempuh.” “Nanti sore melalui lereng bukititu, masuklah menuju kebun
Lala Ila. Dia biasa mandi di Buen Lalampang yang terdapat didalam kebun itu. Kadang-kadang juga mandi di Buen Lajenre di tepi sungai desa Lantung ini.”
“Wah, bagaimana kalau ketahuan, tentu kami dipukul oleh bapaknya.”
“Kalian laki-Iaki juga, jangan berpikir sesempit itu. Kalian orang baru di desa ini, wajar kalau sesat atau keliru jalan.” “Baiklah paman, akan kami coba nanti sore.”
Ketika hari sudah senja mereka pergi ke tempat yang telah direncanakan itu. Benar juga, apa yang telah dikatakan pamannya. Lala Ila sedang mandi di tempat itu ditemani oleh Nini Saje, pengasuh setianya. Mata Lalu Mangi tak berkedip sedikit pun menatap tubuh Lala lla. Hati kecilnya berbisik:
“Duh Lala Ila yang molek, kau adalah jelmaan bidadari yang turun mandi di telaga ini.”
“Ada orang menoleh dan memperhatikan kita Lala,” ,kata Nini Sale. Cepat-cepat Lala IIa meraih kain sarungnya sambil menengok ke kiri dan ke kanan. Akhimya bertemu pandang dengan Lalu Mangi. Lalu Mangi melepaskan senyum simpati. Lala IIa tunduk malu tersipu-sipu.
“Mengapa kalian berani masuk ke kebun ini ?”. tegur Nini Saje. “Kami sesat dan keliru jalan Lala,” jawab? Salampe.
“Kami ikhlas dan rela mati asal disebabkan tangan Lala.”
“Kami mau pulang,” kata Nini Saje dengan suara lembut. “Silakan melangkah puteri jelita,” kata Lalu Mangi. Kemudian sambungnya:
“Selain kami adakah orang lain yang masuk dalam kebun ini?” Lala Ila menggelengkan kepala. Hal itu merupakan jawaban atas pertanyaan Salampe.
“Ingin kudengar jawaban lisanmu Lala.” “Tiada orang lain selain Lalu.”
“Lala, ikhlaskah hatimu jika aku memetik bunga mekar di kebun ini?” Merekahlah senyum Lala Ila mendengar kata-kata puitis yang menyentuh batinnya itu. Gadis itu mengerling. Lalu Mangi tak henti-hentinya menatap wajah bidadari yang mulai beranjak dari tempat itu. Dalam. waktu sekejap, antara Lala Ila dan Lalu Mangi telah terjalin cinta mesra. Sedikit pun mereka tak dapat saling melupakan. Begitulah perasaan orang yang sedang bercinta. Segala-galanya dikorbankan demi cinta. Hati mereka sudah berpadu menuju satu titik.
Sesudah sembahyang Isya Lalu Mangi duduk santai di beranda rumah pamannya bersama Salampe.
“Jangan bimbang lagi Lalu, saya sanggup menyampaikan perasaan Lalu kepada Lala Ila itu.”
“Terima kasih Salampe, tiada orang lain yang sanggup menghibur hatiku, selain kau. Mengenai hubunganku dengan Lala itu hendaklah dirahasiakan. Kalau hal ini diketahui bisa buruk akibatnya. Orang desa senang mempergunjingkan orang.”
“Tidak mungkin akan kubuka kepada sembarang orang, kecuali kepada Dea Angge. Hal ini perlu disampaikan.”
Tiba-tiba Dea Angge keluar dan langsung duduk di antara mereka. Lalu Mangi dan Salampe terperanjat.
“Semua pembicaraan kalian telah kudengar, bukan-rahasia lagi bagiku.”
“Paman yang baik, saya sudah jumpa dan bicara dengan Lala itu di kebun. Benar kata paman betapa cantiknya gadis itu. Sejak malam ini aku serahkan masalah ini kepada paman, hingga hubungan kami terwujud dalam perkawinan. Segala-galanya aku serahkan kepada paman.”
“Tak usah khawatir. Penyerahan itu telah dilakukan oleh bapakmu dari Sumbawa.”
“Lenganku besar dan kuat menantang lawan, jika ada sesuatu menghalangi dan mematahkan hubungan Lalu dengan si jelita itu.”
“Jangan terlalu takabur Salampe,” Dea Angge memotong ucapan Salampe.
“Kita uma berikhtiar namun Tuhanlah yang menentukan berhasil tidaknya usaha dan ikhtiar itu.”
Sementara itu istri Dea Angge keluar menghidangkan jagung rebus.
“Silakan jagung rebus itu. Masih hangat. Jagung itu hasil kebun sendiri. Kebun kita berdekatan dengan kebun lala Ila,” kata bibinya sambil tersenyum. Betapa girang hati lah Mangi mendengar kata bibinya. Mereka yang duduk di beranda itu diliputi bahagia. Dan anak-anak yang bermain di depan rumah panggung itu semakin banyak, bersorak sorai dalam sinaran eahaya purnama. Antara waktu Isya dan Magrib Lalu Mangi pergi ke Buen Lajenre ditemani Salampe. Saat itu Lala Ila juga pergi ke tempat itu. Di sana mereka bertemu memadukasih. Dari hari ke hari cinta mereka semakin melekat dan tak bisa dipisahkan lagi. Mantap dan bulatlah tekad mereka untuk sehidup semati dalam sebuah rumah tangga.
Berdasarkan persetujuan Raden Mangi maka Dea Angge pun pergi meminang kepada Raden Ilung. Pastilah pinangan itu diterima. Memang pemuda itulah yang dikehendaki untuk dijadikan menantu. Pertunangan mereka yang dirahasiakan itu kini bakal terwujud sesudah musim memetik kacang hijau, upacara perkawin an akan dilaksanakan secara besar-besaran.
Pada waktu itu hubungan dagang antara Sumbawa dengan Ujung Pan dang cukup lancar. Dengan menumpang perahu layar pedagang-pedagang Ujung Pandang berdatangan di Sumbawabesar. Selain menjual kain sarung di an taranya juga ada yang membawa candu. Di tanah Sumbawa pun sudah banyak pengisap candu Pemadat itu kebanyakan dari kalangan atas termasuk kaum bangsawan. Orang-orang jadikurus, harta benda habis, hidup tak beraturan akibat” mengisap eandu. Pengisap eandu akhirnya bukan hanya terdapat di kota saja tetapi desa-desa keeil pun telah kemasukan pula. Demikian juga di desa Lantung Aimual ada juga pengisap candu, karena dipengaruhi oleh pedagang-pedagang keliling yang memasuki lorong kampung.
Pada waktu itu seorang pedagang yang bernama Daeng Joge memasuki desa Lantung, Daeng Joge ini sangat ramah tamah dan baik hati. Semua orang yang pernah bertemu dan bercakap-cakap dengan dia pasti terpikat dan bersimpati kepadanya. Barang dagangannya cepat terjual habis. Begitu hebat daya tarik dan propaganda Daeng Joge itu. Pada suatu hari Daeng Joge singgah di rumah Lalu Mangi. Ketika itu pamannya sedang pergi ke ladang. Daeng Joge telah mendengar berita tentang perkawinan Lalu Mangi dengan Lala Ila yang akan diselenggarakan bulan depan.
“Saya membawa kain sarung yang baik dan cocok untuk kedua pengantin.” Lipatan kain itu dibuka dan dipamerkan kepada calon pembelinya. Sarung Bugis yang bermutu baik dapat digenggam dalam genggaman tangan.
“Berapa harga kain sarung merah dan yang hijau itu?”
“Murah saja Lalu. Dang pembayarannya bisa kemudian. Hubungan kita begitu baik. Apa artinya benda kalau dibandingkan dengan kebaikan.” Maka dibelilah kain sarung itu oleh Lab Mangi.
“Barang apa lagi yang dipercikan Lalu?” “Ada minyak wangi?”
“Lebih dari itu ada Lalu.”
“Berapa harga minyak wangi itu sebotol?” “Setali saja Lalu.”
“Berikan saya dua botol.”
“Selain itu ada barang yang paling cocok bagi pasangan pengantin baru, Orang jadi sehat dan kuat bila menggunakan obat itu.”
“Bagaimana bentuknya barang itu?”
Daeng Joge mengeluarkan bungkusan dari lipatan kain dagangannya. Diangkat dan didekatkan di hidung Lalu Mangi.
“Inilah yang bernama candu. Belum hebat orang kalau belum mengisap candu. Sebagian orang besar di kalangan kaum bangsawan di Sumbawa Besar mengisap candu. Boleh dicoba Lalu. Sekali coba pikiran kita terbuka, badan jadi sehat, pandanganjadi terang, pergaulan jadi luas terutama orang-orang besar menyenangi kita.”
“Tidak usah Daeng Joge, masih banyak kebutuhan lain yang harus kupersiapkan.” Daeng Joge mengambil candu itu lalu diisapnya dan berkata:
“Tidak apa-apa. Sudah saya jelaskan tadi, badan kita jadi sehat dan kuat. Wanita tidak suka kepada lelaki yang badannya lemah dan tidak bergairah. Coba diisap Lalu, mengenai harganya, tidak usah dipikirkan. Bukankah kita sudah berkenalan dan berkawan baik. Terserah Lalu saja. Kalau Lalu beruang barulah diselesaikan. Artinya bisa dibayar kemudian atau dibayar menyusuI.”
“Cukup sudah Daeng Joge masih banyak keperluan lainku.”. “Lalu terIalu banyak bicara. Terus terang, saya amat kasihan pada Lalu. lni cobalah, ayo cobalah diisap.”
Karena bujukan dan propaganda Daeng Joge akhirnya Lalu Mangi tidak berdaya. Maka diisaplah candu itu. Cepat sekali reaksinya. Badannya tampak segar bugar. Pikirannya terang benderang. Lalu Mangi tersenyum simpul.
“Benar juga khasiatnya terasa, badan jadi segar.
“Nah, apa kata saya. Saya tidak bohong.
“Ini satu bungkus lagi, simpan baik-baik.”
Sesudah itu Daeng Joge berangkat menjajakan barangnya masuk kampung ke luar kampung: Pelosok-pelosok desa di Kecamatan Ropang sebahagian besar telah dijelajahi.
Salampe tidak berubah niatnya. Lalu Mangi dengan Lala Ila
harus kawin sesuai dengan rencana yang ditentukan. Salampe menjadi penghubung antara kedua mereka yang sedang bercinta kasih itu. Salampe selalu membawa suara warna cerah sehingga pasangan remaja itu selalu diliputi suasana senang dan bahagia. Keadaan Lalu Mangi sekarang jauh berubah. Kini ia jadi pemadat. sekarang ke luar rumah. Murung dan menyendiri dalam kamar. Malas menjenguk kekasih. Setiap hari lumat Daeng Joge membawa candu. Lalu Mangi lebih banyak berhutang dari pada membayar kontan. Kalau pikirannya kacau, badannya lemah, cepat-cepatlah ia mengisap candu. Badan yang layu pun segar kembali. Itulah kerja Lalu Mangi setiap hari. Pikirannya tidak lagi sepenuhnya tertuju pada kekasihnya. Hidupnya dikuasai dan dipengaruhi oleh candu. biaya yang dipersiapkan untuk pelaksanaan p’erkawinan sudah habis. Utang pada Daeng Joge semakin banyak. Tak  mungkin terbayar lagi. Tiap-tiap hari Daeng Joge datang menagih. Lalu Mangi terus meminta candu dengan perhitungan harganya dibayar kemudian. Daeng Joge masih memberikan kesempatan berpikir pad a Lalu Mangi dengan catatan semua utangnya harus diselesaikan pada waktunya. Kini kesehatannya tidak normal, badannya kurus kering. Walaupun begitu pamannya terlalu memanjakan kemenakannya. Keinginan Lalu Mangi terpenuhi. Begitu juga Salampe, apa yang dikehendaki Lalu Mangi segera diusahakan dan dikabulkan. Salampe tetap menanamkan kepercayaan pada Lala Ila serta meyakinkan gadis itu bahwa cintanya Lalu Mangi tak pernah luntur. Sebagaimana biasa Salampe pergi bertandang ke rumah Lala Ila.
“Salam mesra dari kekasihmu, Lala.” “Mengapa Lalumu enggan ke mari lagi?’ “Ia tetap mengingatmu  Lala.”
“Maksudku mengapa ia tidak pernah datang?” “Lalu itu akhir-akhir ini sering sakit.”
“Sakit apa yang dideritanya Salampe? ”
“Badan lemah, kepala pusing. Lelaki atau wanita kata orang, apabila menghadapi hari perkawinannya sering sakit.”
“Sampaikan salamku padanya. Harapanku kalau kesehatannya normal kembali, agar berkenan datang seperti biasa. Ibu Bapakku selalu menanyakan dia.
Memang benar agak lama Lalu Mangi. tidak tampak di tengah keluarga Raden Ilung. Setelah Salampe menyerahkan surat dari Lalu Manii kepada Lala Ila, ia pun segera beranjak dari situ.
Lalu Mangi semakin resah gelisah. Daeng Joge terus-menerus menagih. Biar berhektar-hektar tanah persawahan dijual belum bisa menutupi utangnya yang begitu banyak. Kepalanya jadi pusing memikirkan masalah yang tak terpecahkan itu. Kemudian ia mengambil keputusan yang sangat bertentangan dengan hati nuraninya.
“Daeng Joge, untuk kesekian kalinya kuminta pengertian Daeng, aku tak bisa melunasi utangku.”
“Hutang harus ditagih. Hari ini menurut perjanjian adalah saat penyelesaian Utang. jangan ditunda-tunda lagi. Saya telah memberi kesempatan pada Lalu. Harus dilunasi sekarang.”
“Sekarang ini belum bisa kupenuhi. Terus terang aku tidak punya uang. Aku bisa melunasi hutangku dengan cara lain.”
“Bagaimana, ya, asal cocok dengan keinginan, saya akan memenuhinya. Ingat, apalah arti hutang kalau dibandingkan dengan malu berkepanjangan.
Sebelum kata-kata itu dilahirkannya mata Lalu Mangi berkaca-kaca. Air matanya meleleh. Begitu berat memikirkan hutangnya yang dibarengi dengan malu. Akhirnya Lalu Mangi berkata, sekujur tubuhnya bergetar.
“Kuserahkan kekasihku kepadamu, asalkan kau tunjang lagi
dengan uang.”
“Benarkah ucapan itu keluar dari hati yang ikhlas?” “Ya. Yang penting hutangku lunas.”
“Apakah Lala itu tidak berpaling melihatku?”
“Ah tidak. Asal kautunjang aku dengan uang setinggi badan Lala itu.”
Betapa girang hati Daeng Joge. Hati siapa takkan senang mendapat gadis cantik seperti bidadari.
“Baiklah Lalu. Uang itu bisa diterima di atas perahu, setelah Lala itu berada di atas perahu pula. Ingat, manusia yang baik adalah apabila ia segera menepati janjinya itu.”
“Aku adalah lelaki yang tidak mau mempermainkan kata-kata.” “Kapan gadis itu dibawa ke pelabuhan?”
“Besok atau lusa malam.”
“Baiklah. Kesimpulannya gadis itu saya terima di atas perahu.” “Ya. Daeng bisa mendapatkan gadis itu di atas perahu.”
Setelah kepergian Daeng Joge betapa susah, hati Lalu Mangi.
Ia menyesali nasib malang yang menimpa dirinya. Semua hal yang merisaukan hati itu disampaikannya kepada Salampe. Pada mulanya Salampe kaget. Ia tidak sependapat dengan Lalu Mangi. Setelah Lalu Mangi menceriterakan kembali terutama mengenai kegelisahan yang dideritanya, akhirnya Salampe terpaksa mengiakan kehendak Lalunya itu’. Kedua anak muda itu kini, dilanda duka yang menyedihkan. Selepas Isya Lalu Mangi pergi ke Buen Lanjenreo Salampe menyusul dari belakang. Di tempat itu Lalu Mangi bersua dengan Lala Ila. Lala Ila sangat terkejut melihat calon suaminya begitu kurus. Mukanya pucat pasi.’”
“Lala yang molek, kasihanilah aku, aku begitu malu terhadap keluargamu. Hingga hari ini aku belum punya uang biar sesen pun, sedang pelaksanaan perkawinan kita sudah di ambang pintu.”
“Apa maksud Lalu dengan.kalimat itu?”
“Kalau Lalu masih mencintaiku sebaiknya kita kawin lari saja ke Sumbawa.”
“Kawin lari? Aku takut. Sungguh, tidak ada berani mempuh jalan yang bertentangan dengan adat itu.”
“Dengan jalan ini pertemuan jodoh kita bisa terwujud. Tanpa
melalui cara ini, maka tertutuplah segala kemungkinan.”
Lala Ila diam sejenak.
“Kalau itu yang dirasakan baik, ya aku ikuti kemauan Lalu.” Lala Ila menembangkan sebait Lawas.
“Kepada siapa kusesali, nasib malang menimpa diri, Maut merenggut daku pasrah.”
Dengan spontan disambut oleh Lalu Mangi:
“Mengapa aku memaksa dinda, Peribadiku tersungkur ke Lembah Yina, Padamu jua tempat bergantung.”
Mereka saling tangisi di tepi Buen Lajenre. Air mata kedua insan itu berlinang dan jatuh ke dalam Buen Lajenre. Air Buen Lajenre meluap ke luar. Untuk kesekian kalinya Lala Ila menembang lawas.
“Padamu jua hatiku pasrah, Hasrat cintaku kau sia-siakan, Duhai banyak insan ingkar janji.”
Dijawab lagi oleh Lalu Mangi:
“Tiada lagi masalah bagiku, Keyakinanku sudah mantap, Mungkin hatimu masih goyah.
Karena keharuan yang mendalam, kepala gadis itu jatuh terkulai di haribaan kekasihnya. Jemari Lalu Mangi mengelus-elus rambut kekasihnya yang panjang terurai. Mereka berdekapan. Rasa cinta suci mengalir ke sekujur tubuh insan yang berkasih-kasihan itu, Air mata mereka tak bisa dibendung lagi. Sepasang bayangan tercermin di kolam.
‘Besok malam’ kujemput kau kekasihku, ucap Lalu Mangi setengah berbisik. Lala Ila menganggukkan kepalanya, tanda setuju. Air mata harum terus merembes ke luar. Ketika malam telah larut barulah Lala Ila meninggalkan tepian Buen Lajenre. Dalam perjalanan pulang gadis itu ditemani Nini Saje.
Akhirnya tibalah hari . yang dinantikan. Salampe tampak menunggang kuda coklat kehitam-hitaman memboneeng Lala Ila.
“Mengapa Lalumu tidak nampak Salampe?” “Sebentar ia akan menyusul kita Lala.”
Lala Ila menengok ke belakang. Sepi. Tiada seorang pun yang melintas. Perasaannya redup. Harapannya pudar. Mereka tiba di pelabuhan. Lala lla dinaikkan ke atas perahu. Diterima oleh Daeng Joge. Lala lla disuruh berdiri, uang ditumpukkan setinggi badannya. Uang itu diserahkan kepada Salampe. Menangislah Lala lla dan meneteslah air mata. Salampe, tak sanggup menahan kesedihannya menyaksikan nasih malang yang menimpa Lala lla. Daeng Joge tersenyum simpul karena siasat yang direncanakannya berhasil. Dia mendekati Lala lla dengan bujukan dan rayuan. Mengertilah Lala Ila kalau dirinya masuk perangkap. Kemudian ia menelungkupkan badan, sembari menangis. Ia meronta-ronta dan tangisnya semakin melengking. Salampe berdiri di tepi pantai.
“Sungguh baik benar hati Lalumu itu, sampaikan padanya Lawas ini: Suara hatiku yang terakhir.
Meski segalanya ini kupasrahkan padamu, Kalau kanda beralih keyakinan,
Rela kumati dari hidup menanggung malu.”
Perahu pun mengembangkan layar.  Lala Ila meronta-ronta dan berteriak:
“Tolong aku Salampe. Jemput aku kekasihku.”
Tiba-tiba turun hujan deras dan angin kencang. Alam pun gelap gulita. Perahu Daeng Joge miring. Layar robek-robek. Badai semakin menggila. Perahu diempaskan arus dan terdampar di atas batu karang.
Tempat perahu itu kandas sekarang menjadi sebuah pulau kecil, yang bernama dan terletak di Selat Alas.
Dan hingga saat ini mata air Buen Lajenre tak pernah mengalami kekeringan, walaupun dalam musim kemarau yang amat panjang. Hal itu disebabkan karena air Buen Lajenre itu merupakan penjelmaan air mata Lalu Mangi dan Lala Ila.
Sedangkan Lalu Mangi mengalami kesengsaraan yang berkepanjangan dan meninggal dunia dalam keadaan  yang menyedihkan.  Pusaranya terletak di Unter Kemang di bagian barat desa Lantung Aimual.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

maaff gan..
cerita buen lajendre ini kan dari lantung padesa,,
gak ada di lantung aimual..

Posting Komentar